Tidak semua anak disleksia memperlihatkan seluruh gejala, yang mencirikan adanya disleksia ringan, sedang, hingga berat.
Sebagian ahli membagi disleksia sebagai visual, disleksia auditori, dan disleksia kombinasi (visual-auditori). Sebagian ahli lain membagi disleksia berdasarkan apa yang dipersepsi oleh mereka yang mengalaminya yaitu persepsi pembalikan konsep (suatu kata dipersepsi sebagai lawan katanya), persepsi disorientasi vertical atau horizontal (huruf atau kata berpindah tempat dari depan ke belakang atau sebaliknya, dari barisan atas ke barisan bawah dan sebaliknya), persepsi teks terlihat terbalik seperti di dalam cermin, dan persepsi di mana huruf atau kata-kata tertentu jadi seperti “ menghilang.”
Siapa saja yang dapat mengalami disleksia?
Siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa, atau latar belakang sosio-ekonomi-pendidikan, bisa mengalami disleksia, namun riwayat keluarga dengan disleksia merupakan faktor risiko terpenting karena 23-65% orangtua disleksia mempunyai anak disleksia juga.
Pada awalnya anak lelaki dianggap lebih banyak menyandang disleksia, tapi penelitian – penelitian terkini menunjukan tidak ada perbedaan signifikan antara jumlah laki-laki dan perempuan yang mengalami disleksia. Namun, karena sifat perangai laki-laki lebih kentara jika terdapat tingkah laku yang bermasalah, maka sepertinya kasus disleksia pada laki-laki lebih sering dikenali dibandingkan pada perempuan.
Bisa sembuhkah?
Penelitian retrospektif menunjukkan disleksia merupakan suatu keadaan yang menetap dan kronis. “Ketidakmampuannya” di masa anak yang tampak seperti “menghilang” atau “berkurang” di masa dewasa bukanlah karena disleksianya telah sembuh tetapi karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang diakibatkan oleh disleksianya tersebut.
Mengingat demikian “kompleks”nya keadaan disleksia ini, maka sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera membawa anaknya berkonsultsi kepada tenaga medis profesional yang kapabel di bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dikenali, semakin “mudah” pula intervensi yang dapat dilakukan sehingga anak tidak telanjur larut dalam kondisi yang lebih parah.
Apa yang dapat dilakukan?
• Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
• Anak duduk di barisan paling depan di kelas
• Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50
• Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
• Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup.
• Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’ dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya, huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s, q”, bentuk zig zag: ”k, v, x, z”, bentuk linear: ”j, t, l, u, y”, bentuk hampir serupa: ”r, n, m, h”.
• Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika. Oleh karena itu, tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara penyelesaian yang klasik jika cara terebut sukar diterima oleh sang anak.
Aspek emosi
Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi, jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Jika tidak segera diatasi, hal ini akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi, dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.
Referensi :
• J.H. Menkes, H.B. Sarnat B.L. Maria (2005). Learning disabilities, dalam: JH. Menkes, HB. Sarnat (penyunting). Child neurology, edisi ke-7. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.
• Sally, Shaywitz, Bennett (2006). Dyslexia, dalam: KF. Swaiman, S. Ashwal, DM. Ferreier (penyunting). Pediactric neurology principles and practice, volume 1, edisi ke-4, Mosby, Philadelphia
• S. Devaraj, S. Roslan (2006). Apa itu disleksia, panduan untuk ibu bapa, guru, dan kaunselor, dalam S. Amirin (penyunting). PTS Profesional, Kuala Lumpur.
• G. Reid (2004). Dyslexia: A complete guide for parents. John Wiley and Sons, Ltd, England
• R. Frank (2002). The secret life of dyslexic child, a practical guide for parents and educators. The Philip Lief Group, Inc, 2002
Sumber : Anakku / edisi 02/IV/Februari 2008
Selamat Datang di Dunia Long Life Learning Program
Mendidik anak, bukanlah hal yang mudah. Agar mendidik menjadi hal yang menyenangkan dan efektif, kita harus tahu tekniknya. Nah, salah satunya dengan multimetode dan multimedia. Kami hadir untuk memudahkan orangtua dalam mendidik anak dengan media-media pendidikan yang insya Allah berkualitas.
Berikut produk-produk kami:
I Love My Al-Quran
Ensiklopedia Bocah Muslim
Halo Balita
Nabiku Idolaku
Cerita Binatang 2 Bahasa Berima ILMA
Berikut produk-produk kami:
I Love My Al-Quran
Ensiklopedia Bocah Muslim
Halo Balita
Nabiku Idolaku
Cerita Binatang 2 Bahasa Berima ILMA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
assalamualaikum....
salam kenal bunda fathi, kebetulan anak saya mengalami disleksia dan artikelnya pas banget untuk membantu saya mendalami masalah tersebut. Boleh saya copas ya? mampir juga ke blog saya ya, rujakuleg.blogspot.com
sama-sama, pak ... silakan dicopas ... mudah2an bermanfaat. salam kenal juga ^_^
Assalamu'alaikum Wr wb..
Salam kenal mbak Fathi..
Saya baca posting ini sangat mendukung terutama bagi ortu yang memang memiliki anak spesial dan ortu yang harus juga memahami masalah yg dihadapi anak spesial. Kebetulan saya sedang menjalani pendidikan di Linguistic Council masalah anak-anak dengan kebutuhan khusus (Children with special needs).
Betul apa yg dikatakan bhw orangtua dg disleksia akan mempunyai anak yg disleksia. Hal ini tidak ada sanggahan, meski hasil spektrumnya bervariasi. Menurut Lissa Weinstein (salah satu penggagas DSM IV) di bukunya menyebutkan juga bhw ada anak yg terlahir sdh membawa gen disleksia. Studi terbaru dilakukan thd bayi-bayi yg baru lahir, potensi (ukuran kegiatan sel otak yg sinkron sbg respons thdp suatu rangsangan) yg dipicu oleh pendengaran untk mrespons suku kata ujaran dan bukan ujaran telah berhasil membedakan bayi-bayi yg 8 tahun kemudian akan menunjukkan gejala sbg pembaca yg buruk.
Mbak praktisi utk anak special needs? Terima kasih infonya. Wassalam wr wb.
Assalamu'alaikum Wr wb..
Salam kenal mbak Fathi..
Saya baca posting ini sangat mendukung terutama bagi ortu yang memang memiliki anak spesial dan ortu yang harus juga memahami masalah yg dihadapi anak spesial. Kebetulan saya sedang menjalani pendidikan di Linguistic Council masalah anak-anak dengan kebutuhan khusus (Children with special needs).
Betul apa yg dikatakan bhw orangtua dg disleksia akan mempunyai anak yg disleksia. Hal ini tidak ada sanggahan, meski hasil spektrumnya bervariasi. Menurut Lissa Weinstein (salah satu penggagas DSM IV) di bukunya menyebutkan juga bhw ada anak yg terlahir sdh membawa gen disleksia. Studi terbaru dilakukan thd bayi-bayi yg baru lahir, potensi (ukuran kegiatan sel otak yg sinkron sbg respons thdp suatu rangsangan) yg dipicu oleh pendengaran untk mrespons suku kata ujaran dan bukan ujaran telah berhasil membedakan bayi-bayi yg 8 tahun kemudian akan menunjukkan gejala sbg pembaca yg buruk.
Mbak praktisi utk anak special needs? Terima kasih infonya. Wassalam wr wb.
sama2, mbak marin. mudah2an tulisan ini bisa bermanfaat. sy hanya pemerhati anak sj. kebetulan waktu itu ada teman yang curhat kalo keponakannya kayaknya dislek, deh ... akhirnya sy cari2 tau deh tentang disleksia. mari berbagi ilmu ttg pendidikan anak, mbak ....
Posting Komentar